EUROSENSE 2016, Dijon, France

Sejak tanggal 11-14 September 2016 kemarin, saya menghadiri seminar Eurosense ke-7 di Dijon, Perancis. Selama 3 hari ini saya menampilkan poster yang berjudul Product Information affects perception of Sensory, collative properties and elicited emotion of Indonesian Tempe. Pada hari ketiga, saya mempresentasikan poster saya ini selama satu jam. Senang sekali melihat banyak orang yang tertarik dengan penelitian saya.

Beberapa hal yang saya pelajari dari seminar ini antara lain:
1. Saya mendapat banyak teman baru. Ada Yessica Buttenhoff, seorang Indonesia yang menikah dengan orang Jerman dan bekerja di Stockholm, Swedia. Dia alumni FIPDES, jadi ya berhubungan banget dengan food. Kami makan malam berdua di DZ ‘Envies pada hari kedua sekaligus ngobrol banyak. Ada Elise dan Bruna dari Dupont Perancis dan Dupont Brazil, teman saat gala dinner. Ada Farhana, seorang Malaysian yang sedang ambil PhD tahun ketiga di University of Reading, UK.

2. Saya ikut demonstrasi dari T@sty kit. Sebuah paket yang dibuat untuk mendeteksi sensory threshold populasi yang dapat dikerjakan dari rumah. Paket tersebut terdiri dari 5 basic taste dalam berbagai konsentrasi yang dicetak pada kertas wafer non gluten dan tinta Food grade. Setiap cecap terdiri dari 2 lembar kertas wafer. Setiap lembar terdiri dari 6 set triangle tes. Kita diminta merasakan dan mendeteksi mana sampel yang berbeda dari setiap set (3 sampel) dan mengisi jawabannya secara online. Setelah itu hasilnya dibahas pada seminar. Dari hasil tes ini, kita dapat mengetahui seberapa sensitif indera pencecap kita. Termasuk dalam rentang poulasi yang mana kah kita. Hal ini baik untuk mengetahui bagaimana threshold populasi sehingga kita bisa memiliki dasar jika kita ingin merancang atau mendesain sebuah produk untuk populasi tertentu.

3. Virtual Reality. Virtual reality adalah bentuk teknologi baru dimana kita bisa menghadirkan konteks nyata beyond laboratory pada panelis eventhough we do it in a lobratory. Salah dua booth sponsor, ada yang menyediakan fasilitas tersebut. Haystack dan ??? (yak, maaf sodara-sodara, saya lupa) Jadi di booth tersebut, kita diminta menilai seberapa suka kita dengan aroma sun lotion. Sebelum mencium aroma tersebut, kita dipasangi alat yang menyediakan virtual reality suasana di pantai secara 360 derajat. Kita bisa memutar kepala kita dan menikmati pemandangan layaknya kita benar-benar berada di pantai. Ketika mencoba, saya cukup tertarik karena saya benar-benar bisa merasakan suasana di pantai. Lengkap dengan suara ombak dan gemuruh angin yang menerpa. Jika kita menengadah, kita bisa lihat langit, jika kita menengok ke bawah, kita bisa lihat logo sponsornya ditengah pasir. Jadi saya sepertinya sedang terbang. Namun suasana pantai itu sepi. Tidak ada orang. Jadi kurang begitu realistic kalau untuk saya karena saya biasa lihat pantai yang selalu ramai. Selain itu ada satu yang kurang dalam booth itu. Akan lebih baik lagi jika mereka menyediakan kipas angina, jadi benar2 terasa seperti 4 dimensi, tidak hanya melihat, mendengar, mencium suasana pantai, api juga bisa merasakan segarnya angin pantai. Alat ini menarik untuk digunakan karena kita bisa mendapatkan hasil penilaian hedonic dari suasana sebenarnya. Namun saying, virtual reality ini belum bisa digunakan untuk restaurant setting karena kita gak bisa makan sambal dipasangi alat tersebut. Cara lain yan bisa dilakukan adalah dengan menggunakan big screen di sekeliling kita untuk menghadirkan susasana di restoran. Hahahaha… Teknologi tetap belum bisa menggantikan sepenuhnya suasana nyata. Saya masih bisa bersyukur untuk itu. Oia, Haystack pun membagikan kacamata google yang bisa kita pakai untuk melihat video seperti di bioskop.

Keynote yang menarik:
1. Sense of time dibagi menjadi dua: judgement of time dan feeling of a passage of time. The older, the faster the time we feel. There are two reason: because we are slowing down and also because we don’t pay attention of time because of too much activity. The later doesnot related to age, but emotion. When cognitive abilities decrease in elderly people, time flies again and they become happier. 

2. Understanding emotion. How emotions are made? Emotion are your construction of the world, not your reaction to it. Sesuai dengan judul blog saya. Manisnya hidup. Semua yang kita rasakan hanyalah hasil dari cara pandang yang kita ciptakan (Fibri, 2010).

3. Consumer research goes social, local, and mobile. They promote an app to track all what we do in life that produce BIG DATA. I think it was amazing how industry really wants to know people in detail and yes that is what I do as well. Sometimes, in other corner of myself, I think that this app makes no privacy. But again. Research in this area always need and get approval from the participant. Jadi gak ada pihak yang merasa dirugikan. Toh hasil penelitian ini ke depannya kembali untuk kepentingan manusia juga kan. Misalnya, saya jadi ingat ketika saya di penginapan camping di Bornholm, kalau mau mandi, kita harus mengisi kredit ke kartu. Satu kredit bisa untuk mandi alias menyalakan shower selama 3 menit. Dapat darimana angka 3 menit itu kalau bukan dari consumer research? Awalnya saya pikir, mana cukup mandi 3 menit? Tapi ternyata mandi selama 3 menit itu cukup. Bahkan kadang lebih dari cukup. Hal ini kan bermanfaat untuk menghemat air dan menghentikan secara paksa orang2 yang mandinya suka berlebih2an. Five golden rule for mobile consumer research are keep it FUN, INTERACTIVE, EASY, SHORT, and be consumer centric.

4. How to sell smaller and make consumer happier? Menarik melihat bagaimana industri makanan berlomba menawarkan porsi besar dan semakin besar setiap tahunnya. Namun apakah itu yang diinginkan konsumen dari segi ekonomi perspektif konsumen memang pasti konsumen menginginkan lebih banyak keuntungan dengan sekecil-kecilnya modal yang ia keluarkan. Namun hal itu tidak juga membuat konsumen terpuaskan karena kepuasan paling tinggi terletak pada suapan pertama dan semakin menurun pada suapan-suapan berikutnya. Oleh karena itu sesungguhnya kita bisa menjual porsi kecil dan memberikan kepuasan maksimal kepada konsumen. Kalau memang sekarang yang menjadi focus adalah pleasure, haruskah kita menjual pleasure? Bagaimana caranya menjual pleasure? Kalau kita menjual harapan (expectation) it’s gonna be a simalakama business. Because then if we sell expectation, we set the consumer expectation at certain level, and how many percent we will get disappointment and how many percent the reality meet the expectation? Kalau konsumen tidak tahu tentang sebuah produk, kemudian kita berikan informasi mengenai produk itu, menurut hasil penelitian saya, itu akan meningkatkan penerimaan sensoris, persepsi emosi positif, dan hal lain yang menghubungkan manusia dengan makanannya. Namun ketika saya snediri menghadiri makan malam besar dengan mengetahui siapa chef-nya, saya sudah diberi harapan akan seberapa enak makanan tersebut, namun pada akhirnya saya kecewa dengan hasil masakannya. Lalu bagaimana dan seberapa jauh informasi ini disajikan agar bisa memberikan kenyataan yang sesuai dengan harapan konsumen?