Baru dua minggu saya merasakan salju pertama dalam hidup saya di Belgia yang beriklim sedang, saya sudah harus pindah ke selatan, yaitu Portugal. Tepatnya Kota Porto. Saya pindah ke Porto untuk mengambil tiga mata kuliah pilihan di Universidade Catolica Portuguesa yang ditawarkan program master saya.
Tiga mata kuliah ini harus diselesaikan dalam waktu sembilan minggu sebelum saya harus pindah lagi ke Jerman. Memang program master di bawah program Erasmus Mundus membawa saya menjadi nomaden dalam mengambil mata kuliah. Dua hari sebelum pergantian tahun, saya mendarat di Bandar Udara Francisco de Sà Carneiro, Porto, Portugal.
Harga tiket metro dari bandara sampai ke penginapan saya di Campañha adalah 1,5 euro karena melewati empat zona yang berbeda. Namun kita harus membeli kartu tiket yang bisa diisi ulang, seharga 0,5 euro. Setelah mendapatkan tiket, saya kemudian naik ke atas untuk menunggu metro.
Metro dengan desain modern yang bersih dan nyaman ini langsung membawa saya ke tempat penginapan saya. Tempat penginapan saya pun sangatlah mudah dijangkau karena letaknya tepat di atas stasiun metro Campañha, sekitar 20 kilometer dari bandara atau 35 menit perjalanan dengan metro. Hidup terasa menjadi mudah dengan fasilitas kota yang modern, nyaman, dan mudah dijangkau ini.
Porto adalah salah satu kota di Portugal yang terletak di pinggir Samudra Atlantik. Meski termasuk negara yang beriklim subtropis yang memiliki empat musim, salju jarang sekali hadir di kota itu. Keadaan geografi Porto berbukit-bukit. Banyak sekali tanjakan dan turunan membuat kegiatan bersepeda bukanlah pilihan yang mengasyikkan. Masyarakat lebih cenderung berjalan kaki atau menggunakan fasilitas umum seperti metro atau bus kota.
Suhu musim dingin di Porto rata-rata hanya sekitar 10 derajat Celsius. Sering kali hujan dan terkadang ditambah petir. Dua hal ini mengingatkan saya pada Indonesia, terutama petirnya, karena di negara sebelumnya saya hampir tidak pernah mendengar suara petir saat hujan.
Bersama seorang teman sekelas saya dari Prancis, saya berkeliling kota pada Sabtu yang cerah. Langit biru bersih tanpa awan, suhu yang tidak terlalu dingin, angin yang cukup bersahabat, padang rumput yang hijau di taman, dan suara kicau burung menemani perjalanan kami hari itu. Saya sampai hampir tidak percaya bahwa saya sedang menikmati musim dingin di Eropa.
Dari tempat tinggal, kami naik metro dan berhenti di stasiun metro Aliados. Harga tiket metro dalam kota yang hanya berjarak dua zona adalah 1 euro. Begitu keluar dari stasiun metro, kami langsung berhadapan dengan gedung balai kota Casa da Câmara, yang bergaya neoklasik. Hal itu tampak jelas pada tiang-tiang penyangganya yang berukir patung setengah badan manusia. Gedung ini dibangun pada 1920, perancangnya Antonio Correia da Silva tapi diselesaikan oleh arsitek Carlos Ramos pada 1957.
Gedung balai kota ini mengingatkan saya pada perayaan tahun baru yang saya ikuti beberapa hari yang lalu. Saat perayaan pergantian tahun, semua orang berkumpul di depan gedung balai kota ini untuk melihat pesta kembang api dan panggung musik di halaman depan balai kota. Pesta kembang api di Porto sangatlah meriah.
Jam dinding yang berada di puncak menara balai kota menjadi konduktor yang memulai pesta kembang api. Tepat saat pergantian tahun, berbagai macam bentuk kembang api dinyalakan dengan gedung balai kota sebagai “panggung” utamanya. Kembang api tersebut seolah menari dengan irama yang harmonis dengan musik yang dimainkan di panggung musik. Pesta kembang api tersebut berlangsung selama kurang-lebih 20 menit.
Tidak pernah sebelumnya saya menyaksikan pesta kembang api semeriah ini. Kembang api yang dinyalakan memiliki bentuk, warna, dan model yang bervariasi. Ada yang meluncur ke atas lalu membentuk taburan bintang, ada yang hanya meluncur ke atas seperti ekor komet dengan suara yang khas. Ada yang tiba-tiba meledak di atas membentuk lingkaran, bola besar, dan oval, ada yang meledak sedikit demi sedikit dan sebagainya. Interval, kuantitas, dan lokasi kembang api dinyalakan membentuk skenario tarian yang apik sekali.
Dari gedung balai kota ini, kami menuruni jalanan, membelakangi gedung balai kota. Di ujung jalan, kami belok kanan dan jalanan yang mendaki menanti kami. Benar-benar kontur kota yang unik. Di puncak jalan yang menanjak ini, kami melihat menara yang cukup tinggi. Kami hendak ke sana karena kami berdua menyukai tempat yang tinggi. Sesampai di atas jalan yang menanjak, di sebelah kanan jalan, kami terpesona oleh sebuah toko buku yang sangat indah. Kami memutuskan mampir sebentar sebelum ke menara tersebut. Namanya toko buku Lello atau Livraria Lello.
Toko buku Lello adalah toko buku tercantik ketiga di dunia. Setidaknya ini menurut versi Lonely Planetdan The Guardian. Bagi penggemar buku, kepustakaan, dan arsitektur, adalah wajib untuk melihat sendiri toko buku ini. Toko buku ini dibangun oleh seorang profesor dalam bidang teknik, Xavier Esteves, pada 1906. Begitu masuk toko buku ini, pastilah mata langsung tertuju pada tangga kayu unik yang berada di tengah toko tersebut.
Tangga kayu ini memiliki ukiran yang mewah dengan cat berwarna cokelat tua, biru muda, dan emas. Untuk menuju lantai dua toko buku ini, kita akan menikmati keunikan tangga kayu yang seperti memiliki empat bagian. Bagian pertama hanyalah satu jalur, lalu bercabang dan memutar di bagian kedua, menyatu lagi di bagian ketiga, dan bercabang lagi di bagian keempat. Jadi, dari satu jalur tangga di lantai satu, menjadi dua jalur tangga di lantai dua dengan lika-likunya yang indah.
Toko buku ini menyediakan buku-buku lama dan baru. Kebanyakan yang saya lihat adalah buku tentang pariwisata dan seni. Di lantai satu terdapat rel dan kereta kecil untuk mengangkut buku. Di lantai dua terdapat beberapa sofa untuk sekadar membaca atau menikmati indahnya desain interior bangunan ini. Beberapa suvenir juga di jual di toko buku ini.
Setelah dari Livraria Lello, kami menanjak sedikit lagi dan sampai di pintu masuk menara Clerigos. Menara Clerigos adalah menara tertinggi di Portugal, mempunyai 6 lantai dan tinggi sekitar 75,6 meter. Karena letaknya yang berada di titik tertinggi di Porto, menara ini menjadi yang paling tinggi di antara bangunan-bangunan yang lain.
Menara dengan model arsitektur bergaya Baroque dan Rococo ini dibangun pada 1754 dan selesai dibangun pada 1763, di bawah manajemen arsitek Nicholas Nasoni. Untuk bisa menikmati pemandangan dari atas menara, kami harus merogoh kocek sebesar 2,5 euro untuk tiket masuk dan menaiki 225 anak tangga untuk mencapai puncaknya.
Dari atas puncak menara ini, seluruh pemandangan Kota Porto dapat terlihat. Kami pun bermain mencocokkan peta yang kami bawa dengan bangunan-bangunan yang ada di bawah pandangan mata. Dari puncak menara ini pula terlihat jelas kontur Kota Porto yang berbukit-bukit. Banyak bangunan yang terlihat pendek dari salah satu sisi tapi ternyata sangatlah tinggi dari sisi yang lain karena perbedaan ketinggian tanah.
Sungai Douro tampak berliku-liku mengalir ke Samudra Atlantik, yang terlihat biru di arah barat, senada dengan cakrawala yang terlihat berwarna lebih muda. Indah sekali. Hanya tiga jembatan yang menghiasi Sungai Douro yang dapat terlihat dari menara ini. Menara ini sebenarnya merupakan bagian dari Gereja Cl?rigos, salah satu dari lebih dari 60 gereja di Kota Porto.
Hari menjelang sore, kami pun sudah mulai letih karena menaiki anak tangga yang cukup banyak. Dari Menara Clerigos, kami menuruni jalan menuju selatan dan berujung ke Sungai Douro. Sungai ini pula yang memisahkan Kota Porto dengan Kota Villa Nova de Gaia. Di pinggir Sungai Douro bagian Kota Porto, berderet rumah dengan cat yang berwarna-warni.
Kawasan itu disebut kawasan Ribeira. Di kawasan itu banyak terdapat kafe, bar, maupun restoran yang menjual minuman dan kudapan khas Portugal. Untuk menikmati sore hari di Ribeira, kami masuk ke salah satu kafe. Setelah memesan minuman dan kudapan khas Portugal kesukaan saya, pasteis de nata, kami memilih tempat duduk di luar, menghadap Sungai Douro yang membentang di depan mata, yang dihiasi jembatan besi indah yang menghubungkan Kota Porto dan Kota Villa Nova de Gaia di samping kiri.
Jembatan besi di sebelah kiri itu bernama Jembatan Luis I. Jembatan itu dibangun oleh T?ophile Seyrig, yang pernah menjadi mitra Gustav Eiffel dalam pembangunan Jembatan D. Maria Pia. Jembatan D. Maria Pia terletak di sebelah timur Jembatan Luis I. Jembatan Luis I dibangun pada 1881 dan selesai pada 1885.
Yang menarik, Jembatan Luis I terdiri atas dua tingkat. Tingkat bawah setinggi 10 meter dari permukaan air sungai adalah jalan raya tempat mobil, bus, dan kendaraan bermotor lainnya melintas. Di sebelahnya terdapat trotoar bagi pejalan kaki. Tingkat atas setinggi 68 meter dari permukaan air sungai adalah tempat rel metro, jalan raya dan trotoar bagi pejalan kaki.
Jembatan bertingkat seperti ini cocok sekali untuk menghubungkan kedua kota yang berbukit-bukit. Dengan jembatan bertingkat seperti ini, dua kota dapat dihubungkan di dua titik hanya dengan satu konstruksi. Tentu saja hal ini akan menekan biaya pembangunan jembatan daripada membuat dua buah konstruksi, dan yang pasti, lalu lintas antarkota menjadi lebih mudah.
Di seberang Sungai Douro, berderet gudang tempat pemeraman anggur Porto. Deretan gudang penyimpanan anggur Porto dengan berbagai merek menjadi pemandangan awal Kota Villa Nova de Gaia. Minuman khas kota ini adalah Port wine atau anggur Porto. Anggur Porto sangat spesial karena berkadar alkohol minimal 20 persen, namun memiliki cita rasa yang manis.
Karena kadar alkoholnya yang tinggi dan cita rasanya yang manis, anggur Porto biasa disajikan dalam gelas kecil sebagai minuman penutup pada acara jamuan makan. Untuk membuat anggur Porto, buah anggur sebagai bahan baku pembuatan wine harus berasal dari Bukit Douro, yang juga dilewati Sungai Douro. Daerah ini berbukit-bukit dengan iklim yang unik sehingga menghasilkan anggur yang memiliki karakteristik tersendiri.
Proses penuaan anggur dilakukan di gudang-gudang yang berada di pinggir Sungai Douro karena suhu dan kelembapan alami pada daerah itu sangat baik untuk proses penuaan anggur, sehingga dapat meminimalkan biaya untuk mengatur suhu gudang.
Bukanlah anggur Porto yang menemani perbincangan kami sore itu, melainkan dua cangkir kopi susu sehangat matahari sore yang beranjak turun di sebelah barat. Perbincangan itu tak kalah hangat dengan suasana yang kami nikmati, hingga senja meninggalkan kami di Ribeira, Kota Porto. Ah, indahnya sore itu.
Artikel ini pernah dimuat di Koran Tempo, 20 Maret 2011